SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Lencana (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Bila malam tiba di kamar Engkong yang dipenuhi aroma minyak angin, kami merapat di balik selimut salurnya. Telah kami dengar berkali-kali cerita mengenai lencana, namun kisah itu selalu hangat seperti baru pertama diceritakan.

Engkong bertaruh nyawa cukup lama dan negara memberinya sebuah lencana. Engkong percaya bahwa siapa pun boleh mencintai negeri ini. Walaupun orang bilang ia hanya peranakan, namun ia telah menumpahkan darahnya untuk mewarnai bendera Indonesia.

Promosi Hadir di Korea Selatan, BRI Sediakan Layanan Keuangan untuk Diaspora dan PMI

**

Waktu Belanda menguasai Indonesia, Engkong masih begitu muda. Ia seorang pengepul gula merah dan pedagang toko kelontong.

Emak, sama-sama peranakan sepertinya, lahir dan besar di ujung timur Pulau Jawa. Ia selalu menghitung kilo gula yang telah dirupiahkan di meja toko dengan sebatang kapur.

Kecepatan kalkulasinya melebihi rata-rata, anak sekolah seperti kami akan kalah bila adu cepat dengannya. Dulu rumah di kampung kami masih sangat jarang. Tetangga terdekat berjarak setengah kilometer. Itu adalah rumah Raden Muh—seorang ningrat yang memiliki banyak tanah.

Saat penjajahan Belanda, mereka membagi rakyat menjadi kelas-kelas. Tertinggi adalah orang Belanda, selanjutnya peranakan lain, kemudian barulah pribumi yang juga terbagi menjadi bangsawan dan rakyat jelata.

Raden Muh, seorang priyayi yang paling disegani di kampung. Orang-orang akan menundukkan kepala ketika lewat depan rumahnya sekalipun Raden Muh tak tampak dari luar. Bila melihatnya, orang-orang akan membungkuk.

Engkong memiliki seorang sahabat dekat yang keluar-masuk hutan membawa senjata laras panjang—namanya Pak Kasiman. Laki-laki yang sering dicari tentara Belanda.

“Pak Kas mau datang?” suatu malam Emak bertanya setelah melihat Engkong menyisakan seporsi makan malam.

“Ini malam Senin, Kas selalu mengunjungi ibunya. Siapa tahu dia mampir ke mari.”

“Aku tidak mau urusan sama Londo lagi,” Emak menggerutu, ”Capek. Aku ajak omong mereka ndak paham. Aku harus pakai tangan sambil teriak-teriak kayak bicara sama orang tuli.”

“Kasihan Kas. Sudah lama di hutan. Mungkin dia akan senang makan dendeng.”

“Ya kamu kasihan saja sama teman-temanmu. Anak-istrimu bagaimana? Kalau Londo itu salah mengerti, bisa mereka todong senjata ke kepala kami.”

Mendengar gerutu Emak, Engkong cukup diam. Engkong tidak pernah mau ribut dengan Emak. Bila marah, Emak menjelma sepeda tanpa rem yang baru turun dari bukit, sulit sekali dihentikan.

Malam itu, pintu belakang rumah terketuk. Tiga kali, satu kali, tiga kali, satu kali. Pola ketukan yang hanya dimengerti orang-orang tertentu. Engkong membukanya, Pak Kas masuk.

Mereka bertukar cerita seperti biasa. Pak Kas memulainya dengan kondisi para tentara di hutan—yang mulai berkurang satu per satu.

**

Engkong bertugas mengumpulkan makanan dari para pedagang. Raden Muh juga ikut membantu dengan mengumpulkan uang dari para priyayi.

Engkong mengunjungi toko para pedagang untuk membeli dan menghimpun bantuan seperti beras, ikan asin, dendeng kering, gula, dan jagung. Makanan itu kemudian disembunyikan dalam tobos para petani.

Para petani membawanya ke hutan sebagaimana rutinitas mereka. Di sana lah Pak Kas dan para tentara Indonesia yang bersembunyi mengambil bahan makanan.

Pak Kas adalah tentara yang memiliki ibu seorang dukun bayi. Ibunya tidak hanya terbiasa membantu para ibu melahirkan dan memijat bayi, namun ia juga punya rapalan mantra yang terkenal sakti. Ia telah memberikan isi pada senjata laras panjang Pak Kas.

Kabarnya, karena itu Pak Kas tidak pernah berhasil ditembak peluru. Sebaliknya, sudah banyak tentara Belanda yang mati di tangannya.

Yang tinggal dalam senjata laras panjang Pak Kas adalah jin bernama Godo. Godo ini yang mampu melempar peluru ke jantung para tentara Belanda. Ia juga mampu  menutup mata tentara belanda sehingga Pak Kas tidak terlihat.

Engkong yang membuktikan sendiri kehebatan Godo itu. Sebab, suatu malam senjata Pak Kas pernah tertinggal di rumah kami.

Engkong sembunyikan di lumbung padi pada malam hari. Subuh, saat Engkong mengeceknya, ia sudah tidak ada. Saat Pak Kas mengunjungi rumah pada pekan berikutnya, ia sudah membawa senjata itu lagi. Rupanya Godo mampu mencari tuannya sendiri.

Baca Juga: Musim Dingin yang Kejam

Pernah juga, saat Pak Kas makan di rumah Engkong, Tentara Belanda mendobrak masuk. Tak mampu ke mana-mana, Pak Kas bersembunyi di balik selambu jendela yang hanya menutupi separuh badan atasnya. Emak dan Engkong sudah lemas dan pasrah. Barangkali itu adalah malam terakhir Emak bertemu Engkong sebab penemuan Pak Kas di rumah Engkong adalah kunci membuka pintu penjara Engkong. Dan bisa jadi Engkong akan disiksa lebih dulu sebagaimana nasib kawan-kawannya.

Tentara Belanda yang berdiri di depan Pak Kas dan secara ajaib ia tak melihatnya. Ia berkeliling menggeledah kamar demi kamar. Tentara Belanda lalu pulang dengan tangan kosong. Pak Kas selamat hari itu. Namun, setiap orang pasti punya hari celaka. Ibunya sudah bilang hari pengapesan Pak Kas jatuh di hari Jumat.

Jangan pergi ke mana pun di hari Jumat. Bila ada Tentara Belanda di hari itu, ia tidak boleh berlari ke timur. Pak Kas berhasil melaksanakan larangan itu hingga bertahun-tahun lamanya.

Sampai suatu hari, Engkong pulang dengan air mata. Pak Kas ditemukan meninggal dengan tembakan di bagian dada dan perut. Mayatnya menghadap ke timur pada hari Jumat. Senjata laras panjangnya tidak ada. Kata orang, Godo sedang mencari tuan yang lain.

Tentara Belanda mendengar Engkong sering membantu Pak Kas. Engkong ditangkap dan dibawa ke kota. Satu pekan ia masuk penjara, namun dipulangkan karena Engkong tetap tegas tak mengakui tuduhannya.

Engkong tetap berjuang dengan cara yang sama hingga berganti ke pemerintahan Jepang. Tentara Jepang tidak seramah Belanda. Bila Belanda masih bisa bermain dengan anak-anak, tentara Jepang seperti mayat hidup.



Tentara Belanda sering menanyakan hal-hal konyol, seperti bekas kerokan di leher Emak atau tempelan benang basah pada dahi anak-anak yang cegukan. Kadang Emak sering jengkel dengan pertanyaan bodoh itu sebab selain sulit menjelaskan, Emak sendiri tak mengerti jawabannya.

Namun, tentara Jepang tidak banyak bicara. Emak mengira, bila manusia terbuat dari tanah liat, khusus mereka ini terbuat dari tanah tandus.

Mereka sering memukul orang pribumi dan memburu gadis-gadis. Apalagi sejak ibunya meninggal, dua adik Emak tinggal di rumah Emak. Kedua gadis itu membuat Emak semakin takut sebab tentara Jepang sering mencari gadis untuk dijadikan pelacur.

Emak selalu menyembunyikan dua adik perempuan itu di lumbung padi tiap kali mendengar ada tentara Jepang datang.

Namun semangat Engkong tetap sama. Ia dan teman-temannya tidak berhenti.  Keberuntungan pun selalu memihak mereka hingga hari itu tiba. Saat radio dan televisi menyiarkan suara Bung Karno. Orang-orang bersorak dan menangis haru.

Air mata Engkong jatuh di dada saat melihat merah putih berkibar di langit. Itu adalah darah orang-orang seperti Pak Kas—yang ditebus dengan sebuah kemerdekaan.

**

Begitulah Engkong yang selalu bilang pada anak-cucunya bahwa tidak ada syarat untuk mencintai negeri ini. Ia mengajarkan kami bahwa sepeninggal Belanda, kelas-kelas itu tidak ada lagi. Sesama manusia memiliki derajat yang sama. Ia bahkan menikahkan anak pertamanya dengan seorang petani pribumi. Merekalah orangtua saya.

Orang-orang seperti Engkong mulai didata. Mereka mendapatkan sertifikat penghargaan pada tahun 1962. Engkong dan Raden Muh juga mendapatkan lencana veteran.



Namun, saat teman-temannya rutin menerima uang pensiun, milik Engkong tidak pernah turun. Hingga Engkong meninggal tahun 1990, ia tidak pernah sekalipun melihat uang pensiunnya.

Barangkali uang itu tidak lebih besar dari pendapatannya berdagang. Uang itu juga tidak mampu mengganti apa yang telah ia korbankan. Namun, rasa pilunya muncul saat ia diperlakukan berbeda. Mengapa uang miliknya tidak pernah turun sementara yang lain berjalan lancar?

Hingga suatu hari, paman kami, seorang tentara yang baru dilantik, mendatangi tempat itu. Entah bagaimana, uang pensiun Engkong keluar kemudian. Uang itu diterima Emak sebagai jandanya. Negara pun mengirimkan uang pensiun secara rutin. Emak menyimpannya dalam buku tabungan. Kata Emak, uang itu nanti akan ia pakai untuk membeli peti matinya sendiri dan tanah kubur yang sudah ia pesan di dekat Engkong.

 

Intan Andaru

Penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival (2021). Sempat menjuarai Lomba Cerpen Festival Sastra UGM (2021). Masih tetap menulis di tengah kesibukan melanjutkan studi spesialis bedah urologi.

 

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya